Politik Asmara Pohon Beringin Sang Bumi Ruwa Jurai

Kamis, 20 November 2025 17:08
Herman Batin Mangku Herman Batin Mangku

Oleh Herman Batin Mangku*

KEDENGARANNYA absurd. Ujian pertama bagi Hanan A Razak—yang baru saja terpilih sebagai Ketua Partai Golkar Lampung—ternyata bukan hanya soal bagaimana mengorkestrasi manajemen partai menuju target kemenangan 2029. Baru saja mulai memanaskan mesin, ia harus lebih dulu berhadapan dengan kisah klasik asmara di tubuh Golkar Kota Bandarlampung.

Sebagai ketua, Hanan mau tak mau harus turun meredam riuh gosip yang menyasar seorang anggota Komisi IV DPRD Bandarlampung. Ia diisukan menikah tanpa sepengetahuan istri pertama pasangannya—sebuah kisah cinta yang tampaknya kurang rapi menyimpan jejak. Dalam waktu dekat, Hanan disebut akan memanggil sang kader cantik itu.

Problemnya tidak berhenti di soal asmara. Sang wakil rakyat—yang kini memasuki periode kedua—juga dikaitkan dengan isu pengondisian Proyek Revitalisasi Sekolah Tahun Anggaran 2025. Dua isu yang, jika salah satu saja terbukti, bisa menyeretnya berhadapan dengan Badan Kehormatan DPRD Kota Bandarlampung. 

Dan jika terbukti terjadi pelanggaran etik? Partai bisa saja menempuh mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) sesuai UU No. 17/2014 tentang MD3, aturan PKPU, hingga AD/ART Partai Golkar. Tuduhan melanggar disiplin, etika, sampai “memalukan partai” selalu punya ruang tafsir yang elastis dalam politik.

Di lembaga politik, skandal seperti ini ibarat cemilan gurih siap saji:  gurih jadi kudapan, sedap dibicarakan, dan bisa mengganjal langkah kader lain. Dengan api asmara yang biru membara, peluang PAW mendadak terbuka. Dan ketika peluang terbuka, banyak telinga mendadak lebih tajam mendengar, lebih rajin menerawang.

Tak heran, isu yang kini lagi hangat di internal Golkar Lampung itu segera memantul dari satu sudut ke sudut lain, menciptakan echo chamber yang gaungnya akhirnya sampai juga ke telinga saya. Ada beberapa skenario yang beredar—salah satunya tentu saja: PAW terhadap yang terbakar dan membakar. 

Di titik ini, Hanan diuji kepiawaiannya bak wartawan: membaca apa yang tersembunyi di balik berita. Pepatah lama bilang, “Ada asap pasti ada api.” Pertanyaannya, siapa penyulutnya? Siapa yang bermain api sehingga asap asmara ini bocor ke publik?

Sang anggota DPRD mungkin bisa merabanya sendiri. Apakah ada pengusaha yang merasa tersisih dari Proyek Revitalisasi Sekolah TA 2025 atau proyek-proyek lainnya? Atau ada hati yang terbakar cemburu karena ditinggal nikah siri atau bisa akibat pindah ke lain hati? Ketika asmara bertabrakan dengan kepentingan, asapnya bisa ke mana-mana.

Lawan politik tentu tidak akan menyia-nyiakan “lubang kecil” ini untuk dijadikan badai besar. Bila badai bisa mendorong hajat politik seseorang—atau keluarganya—mengapa tidak?

Hanan sendiri tergolong pemain baru di Partai Golkar. Dan di bawah pohon beringin yang rimbun, selalu ada kelompok “PLN”—pemain lamo nian—yang hafal setiap retakan batang, arah angin, dan sejarah dendam. Bisa jadi, kasus asmara ini dijadikan momentum untuk menata ulang gerbong partai, melunasi hutang politik masa lalu, atau sekadar menyingkir-menyeting seperti biasanya.

Dinamika internal Golkar memang selalu hidup. Tak ada yang benar-benar mati, hanya berganti napas kelompok. Mungkin sekarang geng lama sedang kembali berkuasa; mungkin pula kelompok lain sedang diam, menunggu momentum. Roda berputar. Hari ini kawan, besok bisa lawan.

Di partai tua yang para kadernya sudah terlatih dalam seni manuver—dan gesitnya minta ampun—bermain api bisa berbahaya. Apalagi ini api asmara, yang sejak dulu terkenal paling cepat menjilat dan paling gurih dipergunjingkan. Banyak kisah asmara politik berakhir bukan dengan kebahagiaan, tapi jadi abu bersama karier.

Sejarah dunia pun mencatat bahwa skandal asmara mampu menjatuhkan tokoh paling kuat sekalipun. Dari Clinton hingga Berlusconi, dari Edward VIII hingga Park Geun-hye—semua membuktikan bahwa urusan hati sering kali lebih mematikan daripada perang dingin atau oposisi politik.

Mengapa begitu mematikan?

  1. Moral publik runtuh → legitimasi ambruk. Pemimpin dianggap tak mampu menjaga integritas personal.

  2. Kebohongan lebih berbahaya daripada perselingkuhan. Banyak tokoh jatuh bukan karena affair, tetapi karena menutupinya.

  3. Lawan politik selalu siap “membesarkan lubang kecil”. Asmara adalah amunisi yang mudah dipakai siapa saja.

  4. Media dan publik bergerak cepat
    Satu foto atau screenshot bisa menjatuhkan karier bertahun-tahun.

  5. Ketimpangan kuasa. Ketika affair melibatkan bawahannya, isu bisa berubah: dari moral jadi etika kekuasaan. 

Kini, bola panas ada di tangan Hanan. Apakah ia mampu memadamkan api asmara di bawah pohon beringin? Atau api kecil ini justru akan menyala jadi kobaran besar, menyemburkan panas politik yang lebih luas?

Jika ibarat tontonan, kita duduk manis saja nyimak apakah "ketuo" manut dikuasai PLN atau kalah roh dengan kadernya yang sulit digeser karena nyantel ke elite politik nasional. Waktu, kecerdikan, dan langkah-langkah tenang sang ketua akan segera menjawabnya.

* Pemred Club


Berita Terkini