Didampingi PBH PERADI Balam, 7 Remaja Keserimpet Molotov dari Penjara ke Pesantren

Kamis, 2 Oktober 2025 22:05
Tujuh remaja terserimbet bom molotov, dari kantor polisi ke pesantren (Foto Peradi/Help) HELO LAMPUNG

SAAT usia remaja, rasa ingin tahu dan gejolak emosi sering kali mengalahkan logika. Itulah yang dialami tujuh anak di Bandarlampung yang terjerat kasus bom molotov saat aksi demonstrasi mahasiswa beberapa hari lalu. Pusat Bantuan Hukum (PBH) PERADI Bandarlampung (Balam) terketuk hatinya terhadap para remaja yang masih panjang masa depannya.

Mereka kemudian alih-alih meringkuk di balik jeruji besi. Para remaja itu akhirnya mendapatkan kesempatan kedua yang langka, yakni menjalani pembinaan di sebuah pondok pesantren. Sebuah perjalanan yang diharapkan bisa mengubah kesalahan menjadi pelajaran, dan jalan buntu menjadi awal harapan baru.

Aksi Damai, Ancaman Nyata

Berawal dari Senin, 1 September 2025, ribuan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Lampung menggelar demonstrasi di halaman Gedung DPRD Provinsi Lampung. Mereka menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset, pemotongan gaji serta tunjangan anggota DPR, hingga peningkatan kesejahteraan guru dan dosen.

Aksi berlangsung tertib. Bahkan Gubernur Lampung, Ketua DPRD, Kapolda, Danrem, hingga pejabat lainnya turun langsung menemui massa. Dialog digelar, tuntutan disampaikan, dan situasi tetap kondusif. Namun, ada kejadian di balik layar yang sempat mengancam jalannya aksi.

Bom Molotov yang Digagalkan

Saat rombongan massa menuju lokasi, anggota TNI mengamankan tiga pemuda di Jalan Radin Intan, Tanjung Karang Pusat. Mereka kedapatan membawa bom molotov. Ketiganya berinisial JF (23), RMA (16), dan RR (14).

Dari hasil pemeriksaan, polisi kemudian menangkap lima orang lainnya: KP (12), RH (16), RF (16), MR (14), dan MHS (16). Mereka diketahui meracik bom molotov di sebuah warung internet dan berencana menggunakannya saat demonstrasi. Beruntung, rencana itu gagal setelah aparat lebih dulu bertindak.

Anak Berhadapan dengan Hukum

Dari delapan orang yang diamankan, tujuh di antaranya masih berusia anak. Sesuai UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), setiap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) wajib mendapatkan pendampingan advokat.

Atas arahan Kapolda Lampung, Pusat Bantuan Hukum (PBH) PERADI Bandar Lampung ditunjuk untuk mendampingi para ABH ini. Langkah ini juga sejalan dengan komitmen Wali Kota Bandar Lampung, Hj. Eva Dwiana, yang mendorong PERADI aktif memberi bantuan hukum kepada masyarakat, khususnya kelompok rentan.

Ketua DPC PERADI Bandarlampung, H. Bey Sujarwo, S.H., M.H., menugaskan Ketua PBH, Ali Akbar, S.H., M.H., dan timnya untuk mendampingi para ABH dalam seluruh tahapan hukum, dari pemeriksaan hingga proses peradilan.

Diversi: Dari Penjara ke Pesantren

Sebagai bentuk perlindungan hukum, penyidik Polda Lampung bersama Balai Pemasyarakatan (Bapas), pekerja sosial, dan UPTD PPA menggelar diversi. Hasilnya, diputuskan bahwa tujuh anak ini tidak dijebloskan ke penjara, melainkan wajib mengikuti program pendidikan dan pembinaan di sebuah pondok pesantren di Bandar Lampung selama tiga bulan.

Keputusan ini telah ditetapkan Pengadilan pada 1 Oktober 2025. Penyerahan anak dilakukan dengan pendampingan orang tua, kuasa hukum PBH PERADI, penyidik, serta petugas Bapas. Para pengurus pesantren menerima mereka dengan tangan terbuka untuk menjalani masa pembinaan

Kesalahan memang bisa membuat seseorang terjatuh, tapi kesempatan kedua selalu membuka ruang untuk bangkit. Tujuh anak yang sempat terseret kasus bom molotov itu kini tengah menapaki jalan baru di pesantren—tempat yang bukan hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga kedisiplinan, tanggung jawab, dan arti memperbaiki diri.

Di sana, mereka belajar bahwa masa depan tidak berhenti hanya karena satu kesalahan. Justru dari kesalahan itu, mereka bisa menemukan arah hidup yang lebih baik. (Rls/HBM)



 - 

Berita Terkini