Retribusi Numpang Lewat di Gerbang Kemanusiaan RSUDAM

Rabu, 1 Oktober 2025 21:06
Ali Rukman F

OLEH ALI RUKMAN*

RUMAH sakit adalah tempat orang datang dengan luka, doa, dan harapan. Tapi di gerbang RSUD Abdul Moeloek (RSUAM) Bandar Lampung, keluarga pasien sering kali dihadapkan pada beban lain yang tak kalah menyakitkan: retribusi parkir yang terasa lebih tajam dari biaya.

Fenomena yang terjadi sederhana tapi mengiris, kendaraan yang hanya lewat mengantar pasien, meski tak memanfaatkan lahan parkir, tetap dikenai tarif Rp3.000, atau dihitung satu jam penuh. Di titik-titik vital seperti IGD, Rawat Jalan, hingga Gedung Cuci Darah—yang setiap hari ramai oleh kendaraan antarjemput—logika kemanusiaan seolah absen. Bukankah seharusnya kendaraan antarjemput, apalagi angkot dan atau kendaraan online, dibebaskan dari pungutan?

Beberapa rumah sakit swasta di Bandarlampung sudah melangkah lebih bijak. Mereka memberi kebijakan: hanya yang benar-benar parkir yang dikenai biaya. Kendaraan yang sekadar menurunkan pasien dibiarkan lewat tanpa pungutan. Ada empati di sana, ada kepekaan. Maka wajar jika kita berharap RSUAM—sebagai rumah sakit rujukan terbesar di Provinsi Lampung—mampu meniru kebijakan baik itu.

Yang terasa ganjil justru ketegasan petugas pintu keluar. Mereka begitu sigap saat menarik bayaran, tetapi minim dalam pelayanan. Saat berad di dalam umumnya kendaraan dibiarkan mencari tempat parkir sendiri, tanpa arahan, tanpa pengaturan. Pertanyaan pun muncul: adakah rasa adil ketika yang dikejar hanya retribusi, sementara pelayanan tak sepadan? Dan lebih dalam lagi: benarkah retribusi parkir ini sepenuhnya masuk kas daerah, atau justru ada celah-celah yang hilang di jalan? Ntaaahlaah.

Seorang ahli tata kota pernah mengingatkan, “Retribusi parkir tidak boleh melukai rasa keadilan publik.” Parkir di rumah sakit mestinya menjadi instrumen pengaturan, bukan ladang mencari rupiah. Apalagi bagi keluarga pasien yang sedang berada di ujung daya dan doa.

Sebelum pemerintah mengeluarkan regulasi yang lebih tegas—membebaskan parkir untuk kendaraan antar-jemput di seluruh fasilitas public di Bandarlampung seperti: universitas, mall, hotel, dan rumah sakit—RSUAM mestinya bisa menjadi pelopor. Karena ukuran sebuah rumah sakit besar idealnya tidak hanya pada luas bangunan atau jumlah pasien, tapi juga pada kemampuannya menjaga nilai kemanusiaan di setiap detail pelayanan, bahkan sampai soal parkir.

Dan di sinilah nurani publik harus bersuara. Jangan biarkan gerbang rumah sakit berubah menjadi loket retribusi yang menghisap di saat keluarga tengah berjuang dengan doa dan air mata. Jangan biarkan RSUAM, yang mestinya jadi simbol pelayanan kesehatan tertinggi di Lampung, justru tercatat di hati rakyat sebagai tempat di mana kemanusiaan dipaksa kalah oleh karcis parkir.

Kini saatnya pemerintah daerah meninjau ulang. Hentikan pungutan untuk kendaraan yang sekadar antar jemput. Tunjukkan bahwa empati bisa lebih berharga daripada tiga ribu rupiah. Sebab sejarah akan mencatat, apakah rumah sakit ini benar-benar berdiri untuk menyembuhkan rakyat, atau sekadar berdiri untuk menghitung receh dari gerbang penderitaan.

 * Aktivis dan pengamat sosial

Berita Terkini