LAMPUNG, HELOINDONESIA.COM — Di balik hiruk-pikuk Pasar Bambu Kuning, ada seorang lelaki berusia 60 tahun yang saban hari berdiri menantang panas dan hujan. Namanya Amripalipong. Seumur hidupnya, ia tak pernah berani memimpikan sesuatu yang besar—bahkan sekadar membayangkan Ka'bah dari jarak dekat pun terasa terlalu mewah untuk dirinya.
“Untuk makan saja harus dipikirkan setiap hari,” ujarnya pelan, mengenang masa-masa ketika menggenggam uang sepuluh ribu rupiah saja sudah harus dihitung dengan cermat. Bersama empat anaknya, ia hidup sederhana di Kelurahan Kaliawi, Tanjungkarang Pusat.
Status sebagai tukang parkir membuatnya sudah sangat bersyukur bila kebutuhan pokok keluarganya tercukupi. Karena itu, umroh bukan hanya mustahil. Bermimpi pun ia tak berani.
Takdir Itu Datang di Malam Ramadan
Ramadan 1446 H tahun 2025 menjadi titik balik hidupnya. Malam itu, ia datang ke sebuah Safari Ramadan yang digelar Wali Kota Bandarlampung, Eva Dwiana, di masjid dekat rumahnya. Usai ceramah dan doa bersama, sang wali kota memanggil beberapa jamaah, termasuk dirinya.
“Bapak mau umroh gak?” tanya Bunda Eva, lembut namun tegas. Amripalipong tersentak seakan mimpi, dunia seperti berhenti sejenak. "Mauuu, Bunda…,” jawabnya seakan tak percaya diberi jalannya oleh Wali Kota Eva Dwiana.
Ia bahkan tidak sempat yakin apakah tadi suaranya keluar atau hanya getaran hatinya. Malam itu ia pulang dengan langkah gemetar. Di pembaringan, matanya sulit terpejam. “Benarkah Allah memanggil saya? Benarkah saya akan ke Tanah Suci?” hatinya terus berulang-ulang bertanya.
Beberapa hari kemudian, ia mendapatakan kabar yang membuat lututnya lemas: bukan hanya diberangkatkan umroh, semua biaya dan paspor juga ditanggung oleh Wali Kota Eva Dwiana.
“Kalau bukan karena Bunda Eva dibukakan pintu hati oleh Allah, mungkin saya tetap hanya bisa memandang Ka'bah di televisi. Itu pun sambil menahan air mata,” katanya.
Hari Keberangkatan yang Ia Kenang Seumur Hidup
Pada 26 Oktober 2025, di Halaman Pemkot Bandarlampung menjadi saksi langkahnya menuju mimpi. Ia berangkat bersama rombongan menggunakan bus, menuju Bandara Soekarno-Hatta, lalu terbang dengan pesawat Saudi Arabia Airlines ke Jeddah.
Di Madinah, selama tiga hari, ia merasakan ketenangan yang tak pernah ia temui seumur hidup. Hotel tempat menginap tak jauh dari Masjid Nabawi. Setiap kali menatap kubah hijau itu, dadanya seperti dipenuhi sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran syukur, haru, dan rasa tidak pantas.
Air Mata Tumpah di Depan Kabah
Puncaknya adalah ketika ia tiba di Masjidil Haram, Mekkah. Saat pertama kali melihat Ka'bah, tubuhnya seketika lemas. Air matanya tumpah deras—tanpa bisa ia tahan.
“Rasanya… dekat sekali dengan Allah. Seperti saya ini bukan siapa-siapa, tapi tetap diberi kesempatan,” ucapnya dengan suara bergetar.
Ia menjalani tawaf, sai antara Safa dan Marwah, sambil terus mengucap syukur. Setiap langkah seperti membawa potongan hidupnya: panas pasar, uang receh yang ia kumpulkan, tawa anak-anaknya, dan rasa lelah yang selama ini ia simpan sendiri. Di Hadapan Baitullah, Semuanya Luruh.
Pulih, Berubah, dan Kembali dengan Hidayah
Sepulang dari Tanah Suci, Amripalipong bukan lagi lelaki yang sama. Ia mengaku kini tak pernah menunda salat. Ada ketenangan dan keyakinan yang ia bawa pulang sebagai oleh-oleh paling berharga.
“Program Bunda Eva terasa sekali bagi orang kecil seperti saya. Hal yang tak mungkin, jadi mungkin,” ucapnya sambil tersenyum penuh syukur.
Di sela-sela tugasnya menjaga parkir di Pasar Bambu Kuning, ia menyimpan cerita yang akan terus ia bawa seumur hidup—cerita bahwa kadang, Allah menghadirkan keajaiban melalui tangan manusia dan itu bernama Wali Kota Eva Dwiana. (Hajim)
-